kemenpppa.go.id – Jakarta – “Saat ini, kasus kekerasan seksual terus meningkat dengan bentuk dan pola yang semakin beragam. Kekerasan seksual sudah masuk dalam tahap yang membahayakan, bukan hanya bagi para korban, tetapi juga bagi kehidupan sosial, bangsa dan negara. Peraturan terkait tindak pidana kekerasan seksual perlu diperkuat dengan adanya UU khusus dan komprehensif seperti Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) yang harus segera dibentuk,” ungkap Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Agung Putri Astrid dalam Diskusi II tentang Urgensi UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif (6/8).
Agung Putri menjelaskan pembentukan UU PKS bertujuan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban, seperti mendapat keadilan dan pemulihan yang optimal hingga tuntas. Selain itu, berbagai peraturan terkait penghapusan kekerasan seksual juga harus dipastikan membahas mekanisme pencegahan yang efektif, sehingga kekerasan seksual dapat dihentikan dan tidak terus berulang. “Hadirnya UU PKS sebagai UU khusus, bertujuan agar segala bentuk kekerasan seksual dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Para korban juga harus mendapatkan keadilan serta pemulihan. UU ini juga bersifat komprehensif, sebagai dasar bagi penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual secara maksimal dan memastikan para pelaku tidak lepas dari hukuman (impunitas). Hal ini sekaligus memberi pesan bahwa tidak ada tempat aman bagi para calon pelaku (no save haven) saat akan menggunakan celah hukum atau tradisi untuk berlindung,” tutur Agung Putri.
Koordinator Seknas Forum Pengada Layanan (FPL), Veni Siregar mengungkapkan berdasarkan data yang dihimpun FPL selama 2017-2019, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia mencapai 1.290 kasus. Veni menuturkan berbagai peraturan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang ada, masih belum memadai dan belum mampu memberikan akses keadilan dan pemulihan efektif (effective remedies) bagi korban. Veni juga meminta kepada Kemen PPPA untuk terus mendukung pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bersama Kementerian/Lembaga lain serta melakukan konsolidasi dengan masyarakat luas.
“Seluruh peraturan tindak pidana yang ada saat ini, belum mencakupi berbagai jenis kasus kekerasan seksual secara menyeluruh, termasuk belum lengkapnya hukum acara dan prosedur pembuktian kasus. Hal ini, tentu berdampak pada minimnya proses penegakan hukum yang seringkali berujung pada impunitas. Inilah kelemahan dari peraturan yang ada, sehingga membatasi dan menyulitkan para penegak hukum dalam memberikan akses keadilan dan pemulihan efektif bagi para korban, seperti masih adanya perbedaan perspektif di antara para aparat penegak hukum dan proses hukum acara yang masih konvensional,” jelas Veni.
Pada diskusi hari ini, hadir pula Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward OS Hiariej yang menekankan pentingnya RUU PKS dalam hukum pidana khusus. “RUU PKS adalah hal yang urgent dan harus dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. RUU PKS juga harus menggunakan pendekatan pidana dan sosiologis, serta perlu dalam hukum pidana khusus dan komprehensif karena bukan hanya mengatur persoalan penindakan tetapi juga pencegahan, termasuk perlindungan pada korban sampai pada tahap rehabilitasi. Hukum acara pidana tidak bisa dilakukan secara konvensional,” ujar Edward.
Edward menambahkan letak kekhususan UU PKS ini karena kekerasan seksual selalu menyasar kelompok rentan, baik perempuan, anak, penyandang disabilitas, maupun laki-laki. “Kekerasan seksual bukanlah bentuk kejahatan luarbiasa seperti genosida, tapi merupakan bentuk kejahatan serius atau graviora delicta. Maraknya kekerasan seksual mendorong diperlukannya tindakan segera/utama (premier remedium) untuk mencegah kekerasan seksual dengan menghukum dan memulihkan, bukan ultimum remedium yang menerapkan sanksi pidana seperti kejahatan pidana umum,” tegas Edward.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri, Kompol Ema Rahmawati menuturkan bahwa pada 2020, Bareskrim telah menangani 2.834 kasus persetubuhan, 1.804 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 1.518 kasus pencabulan. Ema juga menyampaikan adanya berbagai tantangan dan kendala terkait hukum acara dan pembuktian kasus. “Dalam pembuktian kasus kekerasan seksual, saksi kunci adalah korban, dan sangat sulit untuk menghadirkan saksi lain karena masih belum samanya pemahaman penegak hukum, seperti perbedaan pandangan mengenai unsur-unsur pasal dan bukti-bukti. Kami tidak bisa bekerja sendiri, butuh kerjasama dan keterlibatan dari instansi terkait lainya dan seluruh dalam rangka memenuhi hak-hak korban melalui penegakan hukum dan pemulihan bagi para korban,” ungkap Ema.
Di samping itu, Wakil Ketual Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania menegaskan bahwa dalam proses peradilan, pentingnya mengadopsi konsep partisipasi korban, agar dapat berpartisipasi dalam proses persidangan. “Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur victim impact statement, konsep ini bertujuan agar korban dapat memberikan pernyataan di persidangan terkait dampak yang dihadapinya, bagaimana peristiwa tersebut mengubah hidup para korban baik berupa tulisan maupun lisan.
Selain itu, Livia menambahkan pentingnya pemulihan bagi korban kekerasan seksual secara komprehensif, termasuk pemulihan pasca mendapat perlindungan dari LPSK atau pemulihan jangka panjang. Pemulihan yang dilakukan secara komprehensif, sangat efektif dalam memenuhi hak-hak korban, seperti pemulihan secara yudisial atau melalui upaya lainnya dengan melibatkan berbagai institusi negara, swasta, organisasi profesi, serta organisasi masyarakat. Selain itu, pemulihan efektif merupakan upaya memulihkan martabat dan keadilan para korban, sehingga harus layak dan memadai (adequate), cepat atau segera (prompt), dapat diakses (accessible), dan komprehensif.
Anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI), Diah Pitaloka sangat menyambut baik dan mengapresiasi upaya Kemen PPPA yang telah menggandeng berbagai pihak dalam mendukung RUU PKS melalui acara diskusi hari ini. “Pelaksanaan diskusi saat ini berjalan lebih konstruktif. Saya senang sekali Kemen PPPA bisa berperan dalam ranah ini, mengingat adanya perhatian tinggi dari publik karena banyaknya korban kekerasan seksual yang sulit mendapatkan keadilan dalam proses hukum. Jika merujuk pada karakternya, UU PKS merupakan UU spesial atau khusus yang harus dibahas dengan pendekatan komprehensif, tidak hanya dalam aspek hukum tapi juga sosial dan budaya,” pungkas Diah Pitaloka.
Acara diskusi yang membahas isu-isu krusial tentang penghapusan kekerasan seksual hari ini, diikuti kurang lebih 100 peserta dari berbagai perwakilan institusi pemerintah, DPR RI, lembaga masyarakat, organisasi profesi, serta berbagai universitas di Indonesia. Pada diskusi ini, para peserta disksusi menyampaikan berbagai harapan kepada pemerintah melalui Kemen PPPA terkait upaya penghapusan kekerasan seksual dengan mendorong disahkannya UU PKS.