humasri.com – WHO telah menetapkan monkeypox atau cacar monyet sebagai darurat kesehatan global atau public health emergency of international concern (PHEIC).
PHEIC adalah keadaan darurat yang dideklarasikan oleh WHO sehubungan dengan kejadian tidak biasa yang memerlukan perhatian dunia internasional karena dapat mengancam kesehatan.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa 3.040 kasus cacar monyet dari 47 negara telah dilaporkan ke WHO.
Sejauh ini, epidemi terus berkembang, dengan 16.000 kasus dilaporkan dari 75 negara, termasuk lima kematian akibat cacar monyet.
Menanggapi pernyataan WHO tersebut, pemerintah Indonesia selanjutnya menyiapkan komponen untuk deteksi dini monkeypox di Indonesia.
Demikian disampaikan Wiku Adisasmito, Koordinator Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Wiku menjelaskan, persiapan Indonesia untuk mewaspadai monkeypox adalah dengan menunjuk dua laboratorium untuk menguji sampel sebagai deteksi dini penyakit tersebut.
Laboratorium yang ditunjuk adalah laboratorium yang ditunjuk yakni laboratorium pusat studi satwa primata atau PSSP LPPM IPB di Bogor, Jawa Barat, dan laboratorium penelitian penyakit infeksi Prof Sri Oemiyati BKPK di Jakarta.
Pada Rabu (27/7/22), ANTARA mengutip Wiku yang mengatakan: “Selain itu, pemerintah memperkuat sosialisasi cacar monyet untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit tersebut.”
Kemudian ada sosialisasi, terutama tentang bagaimana penyakit itu menyebar, apa yang bisa meningkatkan risiko penyebarannya, dan bagaimana cara menghindari monkeypox.
Masyarakat juga selalu dihimbau untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat untuk melindungi diri.
“Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan cacar monyet untuk mencegah penyakit tersebut masuk dan menyebar ke Indonesia,” kata Wiku.
Selain itu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi juga meminta Menteri Kesehatan (Menkes) mewaspadai penyakit cacar monyet.
“Saya sudah minta Menkes untuk mempersiapkan semaksimal mungkin agar kasus monkeypox yang kini mewabah di beberapa negara tidak terjadi di Indonesia. Ini yang harus diantisipasi,” kata Muhajir Efendi.
Mengenai potensi ancaman penyakit yang ditetapkan sebagai darurat kesehatan global oleh WHO, dia mengakui Indonesia lebih memilih untuk memprediksi masuknya monkeypox karena karakteristiknya sudah diketahui.
“Penyakit ini berbeda dengan Covid-19, ketika dunia tidak tahu seperti apa dan bagaimana kejadiannya. Insya Allah kita lebih siap menghadapi cacar monyet,” katanya.
Namun, ia tentu meminta masyarakat untuk lebih waspada, dan pemerintah akan memberikan informasi agar masyarakat lebih waspada.
“Penularannya sangat spesifik, dan menurut saya yang paling penting adalah memantau mereka yang berperilaku sangat sensitif atau dekat dengan monkeypox ini. Kami juga terus memberikan pengawasan, pembinaan terkait penyakit ini, termasuk informasi untuk semua orang agar tetap waspada,” katanya.
Sementara itu, mengenai persediaan obat-obatan, Muhadjir mengatakan masih tersedia. Selain itu, monkeypox bukanlah penyakit baru, sehingga lebih muda dalam proses penyembuhannya.
“Tadi saya sudah bilang, penyakit ini bukan yang tidak teridentifikasi. Jadi sudah sangat dikenal, jadi obat-obatnya sekarang di Kemenkes sudah ada,” ucapnya.
Baca Juga : 8 Fakta Wabah Cacar Monyet
Cacar Monyet Berpotensi Masuk ke Indonesia
Melansir Kompas.com, Kementerian Kesehatan menegaskan, hingga saat ini, belum ada kasus cacar monyet di Indonesia.
Namun, ahli epidemiolog Dicky Budiman dari Griffith University di Australia mengatakan semua pihak harus tetap waspada karena kemungkinan monkeypox masuk ke Indonesia masih ada.
“Jadi, bahwa dia ada di Indonesia, sekali lagi saya sampaikan potensinya jelas ada,” kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Selasa (26/7/2022).
“Apa lagi, itu bahkan dimulai pada awal Januari. Di AS sendiri, sudah terdeteksi jauh lebih awal,” lanjut Dicky.
Menurut Dicky, cepatnya penyebaran cacar monyet disebabkan oleh kecepatan interaksi manusia yang ekstrem saat ini, meski masih di tengah pandemi Covid-19.
Faktor itu membuat penyebaran cacar monyet ke seluruh dunia sangat mungkin terjadi, kata Dicky. Di sisi lain, lanjut Dicky, monkeypox memiliki masa inkubasi yang cukup lama hingga tiga minggu.
Karena masa inkubasi yang lama, orang yang terinfeksi masih dapat bepergian tanpa terdeteksi karena gejala cacar monyet belum muncul.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemeriksaan laboratorium terhadap spesimen dari sembilan pasien terduga cacar monyet di Indonesia semuanya negatif.
Belum ada yang terkonfirmasi positif mengidap penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus tersebut.
“Sejauh ini ada sekitar sembilan pasien yang diduga tersebar di seluruh Indonesia, tetapi kami melakukan tes di Jakarta dan semuanya menunjukkan hasil negatif,” kata Budi Peluncuran Platform SatuSehat di Hotel Raflles Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Budi mengatakan, pemerintah telah menyediakan reagen untuk tes RT-PCR untuk mendeteksi virus penyebab monkeypox di laboratorium.
Menurutnya, virus penyebab monkeypox lebih mudah diidentifikasi daripada virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
“Karena virus cacar monyet (monkeypox) lebih besar (ukurannya) dari SARS-CoV-2,” katanya.
“Selain itu, gejala yang muncul di permukaan kulit bisa terlihat, seperti lesi (bintik kecil berisi cairan) di tangan dan wajah, warna kulit berubah menjadi kemerahan, dan bengkak di area selangkangan,” kata Buddy.
Budi juga mengatakan bahwa cacar monyet banyak ditemukan pada kelompok orang tertentu, termasuk pria gay.
“Memang benar angka penularannya relatif tinggi, seperti HIV/AIDS,” katanya.
Kementerian Kesehatan telah mengaktifkan sistem surveilans untuk memantau populasi yang rentan terhadap cacar monyet untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut.
Baca Juga : DPR Minta Kemenkes Berkomunikasi Dengan WHO Soal Cacar Monyet