HumasRI – Bola panas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) kini ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada rapat paripurna terdekat, DPR harus bersikap untuk menerima atau menolak Perppu yang mendapat perlawanan dari mayoritas publik tersebut.
Sejumlah pihak menilai DPR bisa dan harus menolak Perppu yang diterbitkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di pengujung tahun lalu tersebut. Alasannya, Perppu dimaksud tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam putusan itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah diminta memperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun hingga 25 November 2023 dengan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.
Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menantang DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja jadi undang-undang, meskipun 80 persen di Senayan merupakan partai koalisi pemerintah.
Selain bertentangan dengan putusan MK nomor: 91/PUU-XVIII/2020, penerbitan Perppu Cipta Kerja juga mengingkari hal-ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan putusan MK nomor: 138/PUU-VII/2009.
“DPR kalau masih mau dibilang paham demokrasi dan negara hukum, harusnya tidak menyetujui Perppu ini nanti ketika dibahas. Alasannya dua hal di atas. Itu sangat prinsipil,” ujar Bivitri kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis beberapa waktu lalu.
Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah juga menantang DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja, termasuk untuk menjadi undang-undang. Biarpun Perppu merupakan subjektif Presiden, DPR mempunyai kewenangan untuk tidak menyetujuinya.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 71 huruf b UU 2/2018 tentang perubahan kedua atas UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti Undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi Undang-undang.
“Menolak secara langsung bisa dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna, tetapi DPR tidak membatalkan, hanya tidak menyetujui yang berimbas pada pencabutan dan tidak berlakunya Perppu,” terang Dedi, Senin (2/1).
Kritik Sikap Diam DPR
Dedi juga menyoroti sikap diam DPR sejak Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan Jokowi di ujung 2022 lalu menuai polemik.
Menurut dia, DPR sejauh ini semakin terlihat tidak berkualitas dalam menjadi penyeimbang pemerintahan Jokowi dalam sistem demokrasi Indonesia.
“Situasi ini semakin buruk karena DPR yang secara langsung dipermalukan. Semestinya DPR bereaksi, tetapi diamnya DPR mafhum dipahami karena sebagian besar mereka bagian dari pemrakarsa legislasi Ciptaker. Ini tentu memprihatinkan,” imbuhnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin memandang bahwa DPR ‘dipaksa diam’ agar tidak terlalu disorot publik.
Ujungnya, menurut dia, DPR dengan mulus akan menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU.
“Saya melihat kalau selama ini DPR diam, maka mereka semua disuruh diam. Agar apa? agar mereka cari aman, agar tidak terlalu disorot oleh publik, mereka tak berani bicara dan menolak, ujung dari semua ini adalah menerima Perppu. Jadi, arahnya sudah terbaca,” kata Ujang, Senin.
“Komposisi politik juga 80 persen adalah koalisi pemerintah. Jadi, ya, suka tidak suka, senang tidak senang, diamnya DPR tanda bahwa Perppu itu akan diterima,” sambung penulis buku Ideologi Partai Politik: Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik tersebut.
Sementara itu di parlemen, Fraksi Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberi isyarat akan menolak Perppu Cipta Kerja dalam pembahasan di rapat paripurna mendatang.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Demokrat Jansen Sitindaon menilai pemerintah tidak patuh hukum dengan mengangkangi putusan MK.
Jansen tak bisa menerima alasan pemerintah yang menyebut salah satu kegentingan memaksa dikeluarkannya Perppu adalah dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut dia, subjektif Presiden dalam mengeluarkan Perppu bukan merupakan sebuah titah yang serta merta harus jadi hukum.
“Kita punya sistem perlembagaan check and balances agar ungkapan Prancis “L’etat Ce’s Moi”: ‘negara adalah aku’ tidak terjadi di Indonesia,” kata Jansen.
“Untuk itu, dalam masa sidang berikutnya, DPR harusnya menolak Perppu ini dan patuh pada putusan MK untuk diperbaiki. Jika pun tidak– karena dominannya kursi blok pemerintah di parlemen– kami Partai Demokrat melalui fraksi di DPR akan menolak ini,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah menilai langkah Jokowi menerbitkan Perppu– alih-alih memperbaiki proses legislasi UU Cipta Kerja– menunjukkan bahwa pemerintah malas, menggampangkan pelanggaran terhadap hierarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR.
“Pemerintah masih punya waktu satu tahun untuk melaksanakan perintah MK memperbaiki UU Cipta Kerja, melibatkan publik dan membahasnya bersama DPR, tetapi yang dipilih secara sadar justru menerbitkan Perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hierarki perundang-undangan dan melecehkan DPR yang menurut UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat 1 dan 2 memiliki kuasa membentuk UU bersama Presiden,” ucap Ledia.
Perempuan yang juga anggota Badan Legislasi DPR ini paham presiden mempunyai hak prerogatif menerbitkan Perppu. Namun, menurut dia, syarat kehadiran Perppu Cipta Kerja tidak kuat dan terlalu dipaksakan.
Oleh karena itu, pihaknya pun mendorong agar DPR menolak Perppu tersebut dan meminta pemerintah taat pada perintah MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
“Buka partisipasi publik, dengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan, duduk bersama DPR membahas UU demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Itu baru langkah demokratis yang berlandaskan nilai Pancasila, musyawarah mufakat,” tutur Ledia.
“Jangan menutup tahun dengan menjadi pemerintah yang otoriter, pro pengusaha dan meninggalkan rakyat,” kata dia.
Sebagai catatan, saat RUU Ciptaker disahkan jadi undang-undang dalam paripurna di DPR pada 2020 silam, dari sembilan fraksi di sana ada dua yang menolak. Dua fraksi yang menolak itu adalah Demokrat dan PKS.
Belakangan, UU Ciptaker itu digugat ke Mahkamah Konstitusi. Lembaga peradilan konstitusi itu kemudian memutuskan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat pada 2021 silam dan memberi kesempatan kepada pembuat undang-undang itu untuk memperbaiki selama 2 tahun atau dinyatakan inkonstitusional seutuhnya.
Setahun pascaputusan MK itu, Jokowi kemudian menerbitkan Perppu Ciptaker alih-alih mengerahkan revisi sesuai putusan MK.
Menurutnya penjelasan untuk menjawab pro dan kontra atas penerbitan Perppu tersebut bisa dijelaskan secara gamblang oleh jajarannya.
“Tapi semua bisa kita jelaskan,” kata Jokowi usai meninjau Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (2/1).
Menurut Jokowi pendapat pro dan kontra atas setiap keputusan atau peraturan yang diterbitkan itu biasa terjadi di tengah masyarakat.
“Ya biasa. Dalam setiap kebijakan dalam setiap keluarnya sebuah regulasi ada pro dan kontra,” kata dia.
Baca Juga: Pemerintah Belum Turunkan Harga BBM Bersubsidi, Ini Alasannya