Jakarta — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat dan menuai pro dan kontra. Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan partainya secara tegas mendukung usulan tersebut. Sebaliknya, SETARA Institute menilai pemberian gelar itu tidak pantas dilakukan, mengingat sejumlah pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.
Doli menyampaikan dukungannya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/4/2025). Ia menyebut bahwa seluruh presiden Indonesia memiliki jasa besar, meskipun masing-masing juga memiliki kekurangan.
“Saya kira, terlepas dari kelemahan dan kekurangannya, presiden-presiden kita sudah punya jasa luar biasa bagi bangsa ini,” ujar Doli.
Menurut anggota Komisi II DPR itu, bangsa Indonesia harus bersikap adil dan bijak dalam menilai jasa para pemimpin nasional. Ia membandingkan penghargaan yang telah diberikan kepada Presiden pertama, Soekarno, dan menilai bahwa hal serupa juga layak diberikan kepada Soeharto.
“Kalau kita terus mencari kelemahan-kelemahan para pemimpin kita, bangsa ini tidak akan maju,” katanya.
Doli menambahkan bahwa Golkar memiliki ikatan historis yang kuat dengan Soeharto. Menurutnya, banyak kebijakan dan pembangunan nasional pada masa pemerintahan Soeharto memberikan dampak positif bagi masyarakat.
“Kami merasakan betul manfaat pemerintahan Pak Harto. Maka Golkar mendukung penuh agar beliau diberi gelar pahlawan nasional,” tegasnya.
Penolakan dari SETARA Institute
Di sisi lain, SETARA Institute secara tegas menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyatakan bahwa masa pemerintahan Soeharto sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan kemanusiaan, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan lingkaran keluarga dan elite politik di sekitarnya.
“Gelar tersebut tidak relevan dan problematik, karena Soeharto belum pernah diuji secara hukum atas kejahatan-kejahatan tersebut,” ujar Hendardi dalam keterangan tertulis.
Ia juga menilai bahwa pemberian gelar itu akan menciptakan kontradiksi dalam narasi sejarah bangsa dan berpotensi mengaburkan semangat reformasi 1998.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa menjadi simbol kebangkitan Orde Baru dan mendeligitimasi gerakan reformasi yang menolak otoritarianisme serta menegakkan supremasi sipil,” jelasnya.
Menurut Hendardi, secara sosial, gelar tersebut juga dapat menimbulkan kebingungan kolektif pada generasi mendatang.
“Ini seperti menghapus jejak sejarah rezim yang dilengserkan karena akumulasi kejahatan, tapi di saat yang sama justru diberi gelar pahlawan nasional,” ujarnya.
Nama Soeharto dan Gus Dur Masuk Daftar Usulan
Polemik ini muncul seiring pembahasan 10 nama calon Pahlawan Nasional tahun 2025 oleh Kementerian Sosial dan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Nama Soeharto kembali diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, sementara nama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diusulkan oleh Jawa Timur.
Kedua nama tersebut merupakan pengajuan ulang dari tahun-tahun sebelumnya. Kini, wacana ini kembali memicu diskusi publik tentang makna kepahlawanan dan pentingnya rekonsiliasi sejarah dalam menentukan tokoh yang layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.