Bareskrim Polri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kasus dugaan tindak pidana obat ilegal senilai Rp531 miliar atau setengah triliun. Pengungkapan itu dihadiri langsung oleh Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU Mahfud MD. Kasus dugaan tindak pidana penjualan obat ilegal ini pertama kali diungkap di Polres Mojokerto dengan menangkap tujuh orang tersangka. Mereka awalnya ditangkap karena menjual obat ilegal aborsi. TPPU ini sendiri didalami dari seorang tersangka bernama Dianus Pionam (DP). Tersangka diketahui menjual 31 jenis obat-obatan secara ilegal sehingga bisa meraup keuntungan Rp 531 miliar, salah satunya obat aborsi terlarang Cytotec. “Di antara 31 obat-obatan tadi, satu jenis obat yang sangat-sangat dilarang, sudah tidak boleh beredar di Indonesia namanya Cytotec, ini obat untuk aborsi,” ujar Dirtipideksus Bareskrim Brigjen Helmy Santika kepada wartawan di Mabes Polri, Kamis (16/9/2021). Bagaimana kronologi kejahatannya? Apa modus operandinya? Apa itu pencucian uang? Bagaimana cara aparat hukum menindaknya?
Jakarta, 20 September 2021 – Helmy menjelaskan DP sudah beraksi sejak 2011 dan baru tertangkap pada 2021. Adapun obat yang diedarkan DP asli, bukan palsu. “Jadi ini bukan obat palsu, ini obatnya asli. Yang salah adalah cara memasukkannya, kemudian dia jual, dia tidak punya izin dan sebagainya. Artinya kami tidak masuk pada persoalan apakah ini palsu atau tidak, tapi caranya,” paparnya.
Lebih lanjut, Helmy membeberkan polisi tidak hanya menyita Rp 531 miliar dari DP. Dia mengatakan pihaknya segera menyita rumah DP di Pantai Indah Kapuk (PIK), mobil jenis sport, hingga apartemen. “Sedangkan yang sedang on going kita juga dapat menyita sejumlah aset. Ada mobil sport, kemudian 2 unit rumah di Pantai Indah Kapuk, kemudian apartemen dan tanah, serta tidak menutup kemungkinan aset-aset yang lain karena masih berkembang terus,” ucap Helmy.
Pada saat yang sama, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto dalam jumpa pers di Bareskrim Polri menyatakan bahwa sebagian jumlah duit yang disita di kasus pencucian uang itu ditampilkan Polri dalam jumpa pers. “Dari hasil penelusuran terhadap rekening-rekening yang bersangkutan ada 9 bank. Kita telusuri Rp 531 miliar yang dapat kami sita,” kata Agus.
Agus menjelaskan satu orang berinisial DP ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini. Menurut Agus, DP sebenarnya tidak mempunyai keahlian dalam bidang farmasi. “Dia juga tidak memiliki keahlian di bidang farmasi. Dia juga tidak memiliki perusahaan yang bergerak di bidang farmasi namun dia menjalankan, mendatangkan obat-obat dari luar tanpa izin edar dari BPOM,” ujar Agus. Kerja sama investigasi Bareskrim dan PPATK itu bermula dari pengembangan penanganan peredaran obat ilegal yang dilaksanakan Polres Mojokerto. Polisi kemudian mendapati transaksi keuangan mencurigakan yang diduga hasil kejahatan tersangka DP.
Untuk diketahui, tersangka DP ini memesan barang dari luar negeri. Setelah itu, barang dikirim melalui jasa ekspedisi di Indonesia dengan nama Awi/Flora Pharmacy. Selanjutnya tersangka DP alias Awi memerintahkan sopir atau kurirnya untuk mengambil obat-obatan dan suplemen ilegal itu di gudang yang telah ditentukan ekspedisi. Kurir itu kemudian mendistribusikannya ke pembeli obat di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, dan wilayah lainnya.
Setelah itu, pembeli melakukan pembayaran dengan cara transfer ke rekening atas nama tersangka DP sesuai jatuh tempo yang telah disepakati. DP disebut mendapatkan keuntungan sebesar 10% hingga 15% dari harga barang yang diterimanya secara berkelanjutan sejak 2011 hingga 2021. Setelah menerima uang hasil edar obat ilegal tersebut, DP melakukan penarikan tunai kemudian mentransfer sebagian ke rekening miliknya pada Bank lain. Sedangkan sebagian lainnya ditempatkan dalam bentuk deposito, asuransi, hingga reksadana.
“Selama ini penindakan TPPU masih belum sesuai harapan. Oleh karena itu, sesuai arahan Menkopolhukam kami jaga untuk menindak TPPU apa yang disampaikan pengaruhi kepada pertumbuhan ekonomi sangat besar. Karena itu, kami kungkap kasus yang berawal dari pengungkapan kasus di wilayah Mojokerto,” tutupnya. Sejumlah barang bukti disita dalam kasus ini antara lain sisa obat yang diedarkan berupa Favipiravir/Favimex jumlah 200 tablet, Crestor 20 mg jumlah 6 pak, Crestor 10 mg jumlah 5 pak, hingga Voltaren Gel 50 mg jumlah 4 pak.
Atas perbuatannya, DP dijerat Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dan/atau Pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Jo Pasal 64 KUHP dan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 Jo Pasal 10 UU RI Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Agus menjelaskan, pengungkapan perkara ini bermula dari kasus seorang perempuan yang meninggal dunia akibat mengonsumsi obat aborsi yang diedarkan tersangka. Kasus tersebut telah bergulir di Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, pada Maret 2021. Penyidik polisi dan PPATK pun melakukan penelusuran. Penyidik mencurigai tersangka karena memiliki dana dalam jumlah yang fantastis, tetapi tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki keahlian di bidang farmasi. Agus mengatakan, polisi masih memburu aktor intelektualis dalam perkara TPPU peredaran obat ilegal ini. Termasuk, memburu pemasok obat ilegal yang ada di luar negeri.
Apresiasi Menkopolhukam
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Mekopolhukam) Mahfud MD mengapresiasi kolaborasi Bareskrim Polri bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang (TPPU) peredaran obat ilegal yang merugikan masyarakat dan juga negara.
“Bareskrim Polri dan PPATK yang telah sinergi dengan baik dan berkolaborasi dengan melakukan Joint Investigation dan ungkap tipid pencucian uang yang berasal dari tindak pidana obat ilegal dengan hasil sitaan Rp531 miliar rupiah. Orangnya sudah diamankan,” kata Mahfud dalam jumpa pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (16/9/2021). Menurut Mahfud, pengungkapan kasus ini juga merupakan bukti dan komitmen dari Pemerintah dan penegak hukum di Indonesia dalam mengusut kasus pidana pencucian uang. “Hari ini kami akan mendengar satu informasi tentang perkara selama ini sering menjadi keluhan banyak orang banya sekali tindakan tipid pencucian uang dirasakan oleh masyarakat tetapi yang ditangkap dan ditangani tak banyak sering kali kita rapat. Kali ini Kabareskrim Polri buktikan bahwa itu bisa dilakukan yang mengagetkan memang ini baru satu orang nilai uangnya besar,” ujar Mahfud MD.
Mahfud mengakui, dugaan tindak pidana pencucian uang di Indonesia terkadang marak terjadi di berbagai lini sektor. Sebab itu, Ia meminta Bareskrim Polri dan PPATK untuk terus bersinergi mengungkap kejahatan ini. “Padahal di Indonesia yang lakukan kaya gini-gini di berbagai tempat laut, hutan, pertambangan dan berbagai sektor itu diduga banyak. Sehingga dengan demikian ini bisa jadi momentum kepada kami semua untuk langkah lebih lanjut dan kompak seperti dilakukan oleh Polri dan PPATK dalam kasus ini,” ucap Mahfud. Pengungkapan kasus ini, dikatakan Mahfud juga komitmen Pemerintah dalam penegakan hukum untuk upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di masa Pandemi COVID-19. Diantaranya adalah melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap bisnis ilegal yang dapat merugikan masyarakat dan negara.
Tak hanya itu, dengan terkuaknya TPPU setengah triliun ini, Mahfud berharap dapat menjadi hal positif Indonesia untuk bergabung ke dalam Mutual Evaluation Review (MER) oleh asesor dari Financial Action Task Force (FATF). “Organisasi Internasional ini berkedudukan di Paris, kami akan jadi anggota. Untuk jadi anggota salah satu harus punya prestasi di dalam tangani TPPU, itu bukan syarat satu-satunya tapi itu berikan sendiri agar kita bisa mejadi anggota penuh, sehingga kita dengan demikian sudah menambah kredit dan terus menambah kredit untuk dapat diterima jadi anggota,” papar Mahfud.
Mahfud mengatakan, pengungkapan kasus TPPU dengan nilai sitaan Rp 531 miliar itu menjadi momentum agar lebih kompak dalam mengungkap perkara TPPU. “Bareskrim Polri membuktikan bahwa itu (TPPU) bisa dilakukan dan yang mengagetkan ini memang baru satu orang, tapi nilai uangnya besar,” kata Mahfud, dalam konferensi pers pengungkapan TPPU di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (16/9/2021).
Mahfud menambahkan, pemerintah bekerja dengan serius melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatan bisnis ilegal yang dapat merugikan masyarakat dan negara, dalam hal ini terkait dengan peredaran obat-obatam ilegal di masyarakat. “Oleh sebab itu saya mengucapkan terima kasih sekaligus mengapresiasi setinggi-tingginya kepada jajaran Kabareskrim Polri dan PPATK yang telah bersinegi dengan baik dan berkolaborasi melakukan joint investigation,” terang dia. Sementara itu Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, perkara TPPU ini merupakan salah satu kasus besar yang ditangani bersama Polri. Ia mengatakan, peredaran obat ilegal tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga membahayakan masyarakat. “Ini concern kami, melihat perkembangan di masyarakat komplain mengenai obat-obat palsu. Obat-obat terlarang beredar, bukan hanya merugikan secara keuangan, tapi juga membahayakan masyarakat,” kata dia.
Apa itu Pencucian Uang?
Money Laundering atau pencucian uang sudah akrab di telinga kita. Di Indonesia, praktik ini sering dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Tujuan paling umum praktik kotor ini yakni menyamarkan asal usul uang seolah berasal dari aktivitas legal. Bisa dikatakan, pencucian uang ini bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan berupaya mengaburkan asal usul uang atau aset yang didapatkan dari cara yang tidak wajar atau ilegal seperti korupsi, terorisme, perampokan, perdagangan manusia, narkoba, illegal fishing, dan sebagainya.
Dilansir dari Jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditulis Joni Emirzon, Guru Besar Hukum Bisnis Unsri, setidaknya ada 3 proses pencucian uang yakni penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). Penempatan yakni upaya menempatkan dana yang dihasilkan suatu kegiatan tindak pidana ke sistem keuangan seperti penempatan dana pada bank, membiayai suatu usaha yang seolah-seolah sah seperti pemberian kredit atau pembiayaan (mengubah kas menjadi kredit). Contoh lain dari penempatan pencucian uang adalah membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk kepentingan pribadi.
Berikutnya yakni transfer atau layering memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana. Contoh praktik ini antara lain transfer dana satu bank ke bank lain antar wilayah atau negara, dan memindahkan uang lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company (perusahaan cangkang).
Ketiga yakni integration atau menggunakan harta kekayaan, yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besar biaya yang harus dikeluarkan. Karena tujuan utama adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
Modus money laudering juga beragam antara lain loan back, c-chase, transaksi dagang internasional, akuisi, investasi tertentu, perdagangan saham, deposit taking, dan modus identitas palsu. Sebagai contoh yang praktiknya cukup lumrah di Indonesia yakni akuisisi atau pengambilalihan saham dengan modus perusahaan yang diakuisisi adalah perusahaan milik sendiri.
Modus-modus Pencucian Uang
Contoh seorang pemilik perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax haven. Hasil usaha di Cayman didepositokan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia memliki dana yang sah, karena telah tercuci melalui hasil pejualan saham-sahamnya di perusahaan Indonesia. Money laundering dilakukan agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.
Sementara itu dikutip dari UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, praktik money laundering bisa dikenakan pidana cukup berat di Indonesia.
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, bisa dikenakan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar (pasal 3).
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dikenakan pidana pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar (pasal 4).
Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipenjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar (pasal 5).
Pemerintah Serius Tangani Pencucian Uang
Dalam hal memberantas kejahatan pencucian uang, pemerintah serius menanganinya. Karena sejak tahun lalu, Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) telah melaksanakan pertemuan terbatas yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga merupakan Ketua Komite TPPU, M Mahfud MD.
Pertemuan yang dilaksanakan pada Senin, 30 November 2020 di gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini antara lain membahas tentang optimalisasi penegakan hukum TPPU. Secara spesifik, hal ini terkait dengan penanganan perkara TPPU serta pemanfaatan laporan PPATK oleh penegak hukum yang perlu untuk terus ditingkatkan. “Secara filosofis, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 didasari untuk melakukan transformasi kewenangan penyidikan, dari semula single-investigatormenjadi multi-investigator,” kata Mahfud. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga mengarahkan agar setiap penegak hukum memiliki pemahaman dan komitmen yang sama dalam penegakan hukum anti-pencucian uang. Ia berharap seluruh penegak hukum dapat berkoordinasi dengan intensif, sekaligus mengevaluasi praktik implementasi UU TPPU agar penegakan hukum anti-pencucian uang dapat berjalan optimal.
“Penggunaan instrumen hukum anti-pencucian uang juga dapat memberikan dampak positif penilaian dunia internasional, karena sebagai bukti terjaganya stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan Indonesia,” lanjut Mahfud. Sedangkan Kepala PPATK, Dian Ediana Rae selaku Sekretaris Komite TPPU, menambahkan bahwa berdasarkan hasil Asesmen Risiko Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang, tindak pidana asal yang paling berisiko terdiri atas tindak pidana narkotika, korupsi, perbankan, kehutanan, pasar modal, perpajakan, dan lain-lain. Ia berharap penegak hukum dapat memprioritaskan penuntutan tindak pidana yang paling berisiko tersebut dapat diikuti dengan penuntutan atas TPPU agar sejalan dengan Asesmen Risiko Nasional.
Hal ini penting karena Indonesia sedang menjalani penilaian terhadap kepatuhan atas standar internasional anti-pencucian uang, yang dikenal dengan Mutual Evaluation Review(MER). “Upaya Indonesia menjadi anggota organisasi internasional anti-pencucian uang, FATF, juga terkait dengan keberhasilan kita dalam melalui MER,” kata Dian. Terkait dengan optimalisasi produk PPATK berupa Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), Dian menjelaskan bahwa itu tidak hanya bermanfaat dalam proses penegakan hukum, tetapi juga dalam meningkatkan penerimaan negara. Data LHA dan LHP PPATK telah berkontribusi terhadap penerimaan negara yang signifikan.
“Guna memastikan koordinasi penegakan hukum anti-pencucian uang sekaligus peningkatan penerimaan negara dapat berjalan semakin optimal, ke depan kita akan upayakan penggunaan sharing platformuntuk percepatan pertukaran informasi,” lanjut Dian. Dalam pertemuan Komite TPPU tersebut, Doktor di bidang hukum ekonomi dari Universitas Indonesia ini juga menyampaikan urgensi pembentukan Satuan Tugas Data Statistik TPPU dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Satgas ini dibentuk untuk mengelola data statistik yang dimiliki oleh Kementerian/Lembaga yang tergabung dalam Komite TPPU sehingga dapat digunakan untuk menjadi bahan tindak lanjut atau keputusan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT. Untuk konteks MER, keberadaan Satgas Statistik diharap dapat meningkatkan nilai kepatuhan Indonesia pada Rekomendasi FATF ke-33, terkait dengan data statistik. Satgas Statistik akan membangun Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), juga termasuk data penegakan hukum TPPU dan TPPT dari proses penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan.
“Satgas Statistik juga akan mengelola data properti yang diblokir, disita, dan dirampas. Termasuk data bantuan hukum timbal balik atau permintaan kerja sama internasional lainnya yang diajukan dan yang diterima. Data statistik ini dapat dipergunakan oleh pihak-pihak terkait,” urai Dian. Isu lain yang diangkat dalam pertemuan Komite TPPU ini adalah rencana pembentukan Public-Private Partnership(PPP). PPP bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas LTKM sesuai dengan prioritas nasional. Selain itu, PPP bertujuan untuk optimalisasi penanganan kasus-kasus TPPU tertentu sekaligus asset recovery. PPP akan dibentuk sebagai sebuah wadah koordinasi di mana PPATK, Lembaga Penegak Hukum, Lembaga Pengawas dan Pengatur, dan Pihak Pelapor akan bergabung untuk membahas mengenai kasus-kasus tertentu. “Kami mohon dukungan dari anggota Komite TPPU dan seluruh pihak terkait dalam pembentukan PPP, yang rencananya akan diluncurkan pada bulan Desember 2020,” harap Dian.
Pertemuan Komite TPPU ini dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Nawawi Pomolango, Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta perwakilan dari Kejaksaan Agung, Badan Narkotika Nasional, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI.
Presiden Minta Aparat Hukum Konsisten
Selanjutnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta aparat penegak hukum konsisten mencegah dan memberantas tindak pidana ekonomi dan keuangan. Komitmen dan konsistensi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diperlukan agar mampu memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana. “Kepada aparat hukum saya minta komitmen dan kosistensi-nya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ekonomi dan keuangan,” ujar Presiden Jokowi seperti dikutip dari Antara dalam acara Koordinasi Tahunan dan Arahan Presiden Republik Indonesia Mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) Tahun 2021, secara virtual di Jakarta, Kamis (14/1/2021) lalu.
Presiden juga meminta optimalisasi peran Satgas Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) untuk mencegah pendanaan terorisme yang dihimpun melalui donasi masyarakat yang berkedok sumbangan kemanusiaan dan upaya lain yang bertujuan untuk menarik simpati masyarakat. Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memitigasi tindak kegiatan ekonomi bawah tanah yang tidak tercatat (shadow economy) hingga kejahatan siber yang merusak stabilitas sistem keuangan. “Kondisi yang mengganggu integritas dan stabilitas sistem perekonomian dan sistem keuangan harus kita mitigasi seperti shadow economy, peningkatan kejahatan ekonomi, serta cyber crime, dan kejahatan lain yang memanfaatkan teknologi yang paling baru,” katanya.
Selain mengantisipasi munculnya tren-tren kejahatan baru di bidang ekonomi dan keuangan, Presiden meminta PPATK terus mengoptimalkan pencegahan tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme. PPATK juga harus terus mengawal pengisian posisi-posisi strategis di lembaga negara dengan aktif menelusuri rekam jejak calon pejabat publik, serta memastikan riwayat transaksi keuangan calon tersebut bersih. Upaya menjaga integritas dan stabilitas sistem keuangan harus dilakukan dengan kerja sama yang erat. Upaya itu juga diharapkan dapat mendukung keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional di 2021 ini. Presiden menekankan bahwa pemerintah akan menyalurkan berbagai bantuan dan stimulus ekonomi dalam jumlah besar pada tahun ini.
Sementara, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan terdapat penyitaan aset atas empat kasus TPPU dalam bidang perpajakan sepanjang 2020 yang nilainya mencapai Rp8,9 miliar. “Kasus TPPU yang sudah ditangani selama 2016 sampai 2020 adalah 16 kasus dengan beberapa sudah diputus bersalah oleh majelis hakim,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyebutkan total kasus pencucian uang yang terekam oleh Komite TPPU sejak 2016 hingga 2020 dalam bidang perpajakan mencapai 16 kasus dengan beberapa di antaranya telah ditentukan bersalah oleh pengadilan.
Sri Mulyani merinci untuk nominal penyitaan aset pada kasus TPPU bidang perpajakan pada 2016 adalah sebesar Rp38,1 miliar dengan enam kasus TPPU, Rp5,3 miliar pada 2019 dengan dua kasus TPPU, dan Rp8,9 miliar pada 2020 dengan empat kasus TPPU. Dia memastikan pihaknya akan terus meningkatkan sinergi melalui satuan tugas (satgas) penegak hukum dalam pemberantasan TPPU bidang perpajakan yang meliputi Kejaksaan Agung, PPATK, Bareskrim Polri, serta DJP.
Tak hanya itu, Sri Mulyani turut mendorong peningkatan kompetensi penyidik di Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan meningkatkan kasus penyidikan hingga lima kali lipat dari jumlah kasus yang terjadi di tahun sebelumnya. “Kami tingkatkan kompetensi penyidik dan peningkatan 4 sampai 5 kali jumlah kasus penyidikan pada 2019 dibandingkan sebelumnya. Penyidikan yang biasa dilakukan PPNS wilayah Jakarta sekarang ditambah penyidikan yang dilakukan oleh Kanwil Jabar dan Jateng,” jelas Sri Mulyani. Sedangkan Kepala PPATK Dian Ediana Rae menambahkan pemanfaatan hasil analisis dan pemeriksaan yang dilakukan oleh PPATK terkait tindak pidana di bidang perpajakan sepanjang 2020 telah berkontribusi Rp9 triliun bagi penerimaan negara.
Dian menyatakan keberhasilan itu merupakan hasil dari join operation tiga pihak yaitu PPATK, Direktorat Jenderal Pajak, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. “Khususnya dalam menghadapi tindak pidana pajak serta kepabeanan dan tindak pidana cukai di Indonesia,” katanya.
Dian menyatakan hal tersebut merupakan salah satu capaian positif yang mampu diraih oleh PPATK di tengah meningkatnya tantangan dan tuntutan stakeholder sekaligus pandemi COVID-19 yang mengubah mekanisme kerja secara drastis. Tak hanya di bidang perpajakan, ia menuturkan capaian PPATK pada 2020 juga termasuk terkait tindak pidana korupsi yang didominasi oleh kasus-kasus dengan melibatkan pejabat pemerintahan, kepala daerah, dan BUMN. Modus utama tindak pidana korupsi yang mayoritas melibatkan pejabat pemerintahan itu adalah mengenai penerimaan gratifikasi atau suap, perizinan, dan pengadaan barang dan jasa.
Kemudian PPATK juga telah menyampaikan 60 laporan hasil analisis dan pemeriksaan terkait tindak pidana narkotika kepada BNN dan Kepolisian RI sepanjang 2020 baik yang melibatkan sindikat dalam negeri maupun internasional. Selanjutnya, PPATK turut memberi perhatian khusus terhadap tindak pidana penipuan yang tidak hanya melibatkan sindikat dalam negeri, namun demikian juga jaringan internasional yaitu salah satunya bermodus Business Email Compromise.“Ini melibatkan sindikat internasional sehingga menunjukkan perlunya dibangun kepercayaan yang kuat antar lembaga di dalam negeri maupun di luar negeri guna pertukaran penanganan kasus yang cepat dan efektif,” katanya.
Terakhir, PPATK menemukan pola transaksi penggalangan dana melalui media sosial yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk mendukung aksi terorisme baik dalam dan di luar negeri. “PPATK mencatat jumlah donasi yang siginifikan ke luar negeri yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme di Irak dan Suriah,” tegasnya. Selain itu, PPATK juga membantu dalam penelusuran dana organisasi yang dilarang oleh pemerintah. Ia menjelaskan berbagai upaya akan terus dilakukan PPATK sebagai lembaga yang bertugas dalam mencegah serta memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).
Dian menekankan tekat ini dilakukan dalam rangka menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo yaitu mewujudkan Indonesia maju, berdaulat, mandiri dan berkepribadian berdasarkan gotong royong melalui penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Ia memastikan PPATK telah melakukan berbagai upaya bersama dengan pemangku kepentingan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 2010 maupun UU No.9 Tahun 2013. Pemangku kepentingan tersebut antara lain meliputi Lembaga Pengawas Pengatur (LPP), Aparat Penegak Hukum, Kementerian/Lembaga (K/L), dan pihak pelapor. (EKS/berbagai sumber)
Baca juga : Bareskrim Musnahkan Bahan Baku Obat Ilegal yang Diungkap di DIY