Retail
No Result
View All Result
Jumat, Desember 19, 2025
  • Login
  • BERANDA
  • ISTANA
  • LEMBAGA TINGGI
  • JAGA INDONESIA
  • KEMENTERIAN
Publikasi Pemerintah Untuk Masyarakat
No Result
View All Result

Konsolidasi Perempuan Untuk Maksimalkan Pemantauan dan Pengawasan Kebijakan

by admin
8 April 2021
in Dpr.go.id
2 0
0
Konsolidasi Perempuan Untuk Maksimalkan Pemantauan dan Pengawasan Kebijakan

YOU MAY ALSO LIKE

DPR Sahkan RUU ASN Jadi Undang-Undang

Revisi UU IKN Resmi Disahkan di Rapat Paripurna DPR

DPR Resmi Sahkan RUU Kesehatan Jadi Undang-Undang

DPR Terima Usulan Biaya Kuota Tambahan Haji Reguler Rp 288 Miliar

Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) bukan sekedar organisasi yang menunjukkan kehadiran perempuan di lembaga legislatif. Presidium KPP RI Dewi Asmara mengatakan, lebih dari itu, KPP RI adalah wadah konsolidasi, baik bagi perempuan parlemen di DPR RI dan DPD RI, maupun perempuan parlemen di DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota, untuk menguatkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam demokratisasi.

 

Dewi mengungkapkan hal itu saat membuka Webinar “Optimalisasi Peran Perempuan Parlemen dalam Membangun Regulasi yang Inklusif di Tingkat Daerah,” secara virtual, Selasa (6/4). Kegiatan itu bertujuan untuk memperkenalkan mekanisme Post-Legislative Scrutiny (PLS), atau Pengawasan, Pemantauan dan Peninjauan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan.  Mekanisme ini dapat ditempuh oleh anggota parlemen untuk mengidentifikasi kebijakan di daerah yang tidak responsif gender dan kemudian menawarkan solusi untuk mengurangi atau menghilangkan regulasi yang tidak responsif gender.

 

Dalam webinar yang diselenggarakan KPP-RI bekerja sama dengan Conservative-WFD ini, hadir dua narasumber ahli yang membincangkan bagaimana optimalisasi peran perempuan dalam perumusan dan pengawasan regulasi yang lebih inklusif. Yaitu, Dr. Al Khanif, Direktur the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2), Universitas Jember  dan Riri Khariroh, M.A., Komisioner Komnas Perempuan periode 2015-2019/ Direktur Aliansi Indonesia Damai.

 

Bertindak sebagai moderator adalah Dina Tsalist Wildana, S.H.I, LL.M, peneliti di the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2), Universitas Jember. Adapun penanggap dalam webinar adalah Andina Theresia Narang Ketua KPP Kalimantan Tengah, Yuni Setia Rahayu Ketua KPP DIY, Rismawati Kadir Nyampa Ketua KPP Sulawesi Selatan, Ineu Purwadewi Ketua KPP Jawa Barat, dan Aida Ketua KPP Sumatera Barat. Forum ini tidak hanya menjadi ruang konsolidasi, tetapi juga menjadi ruang KPP RI konsisten mendukung dan mendorong legislatif perempuan untuk bisa berperan maksimal sebagai anggota parlemen.

 

Dalam paparannya, Al Khanif menyampaikan sebagai mekanisme yang relatif baru, pemantauan dan peninjauan peraturan perundang-undangan belum banyak dilakukan oleh DPRD, baik DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. “Ini menunjukkan bahwa DPRD kita masih belum bergeser dari paradigma law making,” ujar Al Khanif. Padahal, di banyak negara demokrasi, paradigma pembentukan regulasi baru sudah banyak ditinggalkan.

 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, mekanisme pelaksanaan fungsi pemantauan dan peninjauan peraturan perundang-undangan tersebut diselenggarakan sebagaimana pembentukan Perda pada umumnya. Dengan demikian, dalam tataran praktis tidaklah sulit untuk dilakukan. Bedanya, mekanisme PLS ini adalah bagian dari siklus pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat berkontribusi dalam usulan penyusunan program legislasi daerah.

 

Mekanisme PLS ini diharapkan menjadi salah satu pintu untuk mengevaluasi atau mereview kebijakan yang terindikasi diskriminatif. Riri Khariroh menyampaikan, temuan Komnas Perempuan pada 2016, terdapat setidaknya 421 kebijakan diskriminatif di berbagai daerah, antara lain yang mengkriminalisasi perempuan dan kelompok minoritas, mengatur moralitas, dan membatasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

 

Namun demikian, Riri menyatakan bahwa perubahan suatu regulasi, sekalipun hanya untuk mengubah satu kata atau dua kata yang terindikasi diskriminatif, tetap merupakan proses yang memakan waktu cukup panjang. Oleh karena itu, Riri menyarankan agar selain membangun konsolidasi antarperempuan parlemen, juga mendorong konsolidasi ekstraparlemen dalam rangka menghadirkan kebijakan yang inklusif terhadap perempuan. (sf)

Tags: DEWAN PERWAKILAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA
Share2Tweet2SendShareShare

Pencarian

No Result
View All Result
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Kebijakan Privasi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Citizen Journalism

© 2020 - © Copyright humasRI Team All Rights Reserved .

No Result
View All Result
  • BERANDA
  • ISTANA
  • LEMBAGA TINGGI
  • JAGA INDONESIA
  • KEMENTERIAN

© 2020 - © Copyright humasRI Team All Rights Reserved .

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?