JAKARTA – Indonesia kerap membanggakan angka pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 persen per tahun. Namun, di balik angka makro yang positif tersebut, muncul kritik tajam mengenai Pertumbuhan Ekonomi Belum Merata dan kegagalan dari teori trickle-down effect (efek tetesan ke bawah).
Presiden Prabowo Subianto bahkan pernah menyoroti fenomena ini, menegaskan bahwa kekayaan negara dan hasil sumber daya hanya dinikmati oleh segelintir orang di lapisan atas.
“Kita telah tumbuh 5 persen terus-menerus, tetapi kita belum berhasil memiliki apa yang disebut efek tetesan ke bawah. Kekayaan tetap dirasakan oleh golongan yang di atas, kurang dari 1 persen,” ujar Prabowo.
Fakta dan Indikator Kesenjangan
Kesenjangan pendapatan ini terlihat jelas dari data BPS dan laporan lembaga internasional. Meskipun secara nasional rasio Gini (indeks kesenjangan) menunjukkan sedikit penurunan ke angka 0,375 (Maret 2025), ketimpangan ini masih mengkhawatirkan:
- Penguasaan Kekayaan: Laporan Oxfam mencatat bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh pendapatan nasional, sementara kekayaan empat keluarga terkaya setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin.
- Kesenjangan Wilayah: Kesenjangan di daerah perkotaan (rasio Gini 0,395) masih lebih tinggi dibandingkan perdesaan (0,299). Disparitas antarwilayah sangat nyata, dengan DKI Jakarta mencatat rasio Gini tertinggi.
- Daya Beli: Pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang menjadi motor utama PDB Indonesia (hampir 60%), tertekan. Daya beli kelompok masyarakat menengah ke bawah cenderung stagnan akibat inflasi dan ongkos hidup yang tinggi.
Kenapa Pertumbuhan Gagal Menetes ke Bawah?
Para ekonom menilai, kegagalan Pertumbuhan Ekonomi Belum Merata ini disebabkan oleh masalah struktural:
- Deindustrialisasi Dini: Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun, padahal sektor ini menciptakan lapangan kerja formal secara masif. Banyak pabrik relokasi karena biaya logistik dan energi yang mahal di Indonesia.
- Inefisiensi Investasi (ICOR Tinggi): Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi (6,33 persen), yang menunjukkan bahwa untuk mencapai 1% pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan modal investasi yang jauh lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya.
- Fokus Pro-Growth: Model pembangunan selama bertahun-tahun terlalu fokus pada angka pertumbuhan makro (PDB) alih-alih pada pemerataan dan pembangunan yang inklusif (inclusive growth).
Solusi: Beralih ke Ekonomi Bottom-Up
Untuk mengatasi fenomena trickle-down yang gagal, pemerintah didorong untuk segera menata ulang strategi ekonomi:
- Transformasi Industri: Mendorong industrialisasi baru dan mempermudah regulasi investasi untuk menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas.
- Ekonomi Bottom-Up: Membangun ekonomi dari bawah, dengan memberikan modal, akses pasar, dan pendidikan bagi rakyat kecil, bukan hanya memperkaya segelintir konglomerat.
- Redistribusi dan Kebijakan Afirmatif: Melakukan reformasi pajak dan program redistribusi yang lebih adil untuk menekan ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat bawah.
Pertumbuhan Ekonomi Belum Merata menjadi tantangan utama yang harus dipecahkan oleh pemerintahan saat ini agar manfaat sumber daya nasional benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.
