Jakarta – Bayangan Orde Baru merangkak kembali. Bukan lagi dalam bentuk represif yang vulgar, melainkan melalui kooptasi halus terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tanda-tanda kemunduran reformasi ini mengkhawatirkan: keamanan sipil berpotensi kembali ditundukkan di bawah bayang-bayang senjata.
Dua dekade pascareformasi, muncul sinyal mengkhawatirkan. Dari wacana pembentukan Kementerian Keamanan Nasional, peleburan fungsi strategis Polri ke lembaga ekstra-polri, hingga absennya Polri dalam perayaan HUT TNI, semua menunjukkan kooptasi lembut yang berpotensi mengembalikan pola lama. Hal ini mengingatkan pada masa kelam Orde Baru, ketika Polri dilebur ke dalam ABRI dan kehilangan otonomi profesionalnya.
Polri Lebih Tua dari Tentara: Mandat Awal Republik
Argumen militerisasi kerap melupakan sejarah dasar republik. Polri lahir lebih dulu dari TNI. Pada 19 Agustus 1945, Badan Kepolisian Negara dibentuk, mendahului kelahiran TNI pada 5 Oktober 1945. Sejak awal, Polri adalah institusi pertama yang ditugaskan menjaga hukum dan ketertiban sipil. Namun, orientasi negara bergeser pasca-1949, puncaknya di era Orde Baru ketika Polri berada di bawah ABRI, kehilangan jati diri sebagai penegak hukum sipil rakyat.
Reformasi 1998 memulihkan kemandirian Polri melalui Tap MPR Tahun 2000 dan UU No. 2 Tahun 2002. Tujuannya tunggal dan fundamental: memisahkan kekuasaan bersenjata dari penegakan hukum sipil sebuah prasyarat utama demokrasi modern. Kini, narasi “efisiensi keamanan nasional” justru membuka pintu baru bagi militerisasi ruang publik, melalui wacana struktur keamanan gabungan hingga pelibatan TNI secara masif dalam urusan domestik seperti siber dan terorisme. Tindakan ini secara sistematis mengikis prinsip civilian policing.
Polisi adalah Wajah Demokrasi, Bukan Alat Perang
Dalam sistem internasional, garis batasnya jelas: Militer menjaga kedaulatan negara, Polisi menjaga keadilan bagi rakyat. Ketika batas ini kabur, negara melangkah mundur ke era represif. Mengintegrasikan Polri ke dalam sistem bersenjata sama dengan mematikan akuntabilitas publik. Polisi adalah perpanjangan tangan rakyat dalam penegakan hukum, bukan sekadar alat kekuasaan.
Kooptasi Polri bukan hanya isu struktur, tapi soal identitas organisasi sebuah DNA yang berbeda antara polisi dan tentara. Polisi bekerja dengan diskresi hukum, etika, dan empati; tentara bekerja dengan perintah, strategi, dan daya paksa. Melebur dua fungsi ini akan menyebabkan aparat kehilangan arah. Hilangnya identitas profesional ini otomatis meruntuhkan legitimasi publik, padahal Polri hidup dari kepercayaan rakyat, bukan dari kekuatan senjata.
Mengategorikan semua ancaman sebagai “keamanan nasional” yang harus ditangani oleh struktur militer akan meretakkan supremasi sipil. Polri adalah mitra sejajar TNI dalam sistem demokrasi. Melemahkan Polri sama dengan melemahkan kontrol sipil atas kekuasaan bersenjata.
Meneguhkan Supremasi Sipil: Melindungi Hukum dan Rakyat
Pembelaan terhadap Polri adalah pembelaan terhadap roh hukum dan demokrasi konstitusional. Untuk menghindari kemunduran, langkah strategis harus dipertegas. Pertama, perlu penegasan batas domain TNI dan Polri dalam kerangka keamanan nasional (National Security Framework) yang jelas dan tidak abu-abu. Kedua, kontrol sipil harus diperkuat, termasuk peran Kompolnas dan Ombudsman, serta sistem audit publik yang transparan. Ketiga, perlu pembangunan Good Policing Governance yang menempatkan Polri sebagai penjaga kepercayaan dan kebenaran, bukan alat kekuasaan. Terakhir, Polri harus dijadikan benteng sipil yang menjaga keadilan dari kooptasi kekuatan.
Membela Polri adalah membela hukum. Karena ketika hukum tunduk pada senjata, rakyat pada akhirnya hanya bisa tunduk pada ketakutan.
Penulis : Komjen Pol (P) Drs. Didi Widayadi, MBA adalah Mantan Ka BPKP dan Alumni Lemhannas KRA-29.