Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam talkshow yang digelar secara virtual dan fisik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/3/2021). Foto: Runi/nvl
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah mereka yang sampai dengan usia 18 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Perkawinan, usia kawin minimum adalah 19 tahun. Jadi sebenarnya menurut Ledia ada ‘gap’ antara usia anak dengan usia minimum nikah.
Ledia mengungkapkan hal itu dalam rangkaian talkshow ‘Kiprah Perempuan Parlemen, Jalan Harapan Bangsa’ yang digelar Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), bertopik ‘Menilik Meningkatnya Kasus Perkawinan Usia Anak pada Masa Pandemi’. Topik yang diangkat dalam sesi kedua hari ini dirasa meresahkan dan patut mendapatkan atensi yang besar dari para pengambil kebijakan dan juga masyarakat luas.
“Ketika kita berbicara mengenai ada yang meminta dispensasi untuk menikah bagi anak di bawah usia yang diatur Undang-Undang, maka hal itu perlu digali lebih dalam lagi, berapa banyak anak yang berada di bawah usia 18 ataupun yang berada di antara usia 18 dan 19 tahun,” ungkap Ledia dalam talkshow yang digelar secara virtual dan fisik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/3/2021).
Ia mengatakan, faktor ekonomi menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi banyak orangtua yang kehilangan pekerjaan akibat adanya pandemi, yang merasa beban hidupnya berat, kemudian mendorong anak-anak mereka yang telah memiliki pasangan untuk menikah.
“Dalam kondisi yang tidak pandemi saja banyak orang tua yang berpikir, dengan menikahkan anak mereka, maka akan mengurangi beban dalam rumah tangga mereka. Kemudian disuruh anak-anak mereka untuk menikah sementara mereka belum mempunyai kematangan dalam hal berumah tangga,” ucap politisi Fraksi PKS itu.
Selain itu, sambung Ledia, ada juga data yang menyebutkan karena adanya kebijakan sekolah di rumah selama pandemi yang membuat aktivitas anak menjadi tidak banyak, sehingga mendorong orang tua untuk cenderung menikahkan anaknya yang telah memiliki pasangan untuk menghindari perbuatan yang dilarang agama.
“Problem utamanya adalah semuanya kembali kepada keluarga. Bagaimana keluarga melakukan pendidikan dan mematangkan (kepribadiaan) anak-anak,” tandas legislator dapil Jawa Barat I itu.
Dalam talkshow tersebut terungkap, pandemi covid 19 ternyata berimbas pada meningkatnya perkawinan usia anak. UU Perkawinan yang direvisi pada tahun 2019, yakni UU Nomor 16 Tahun 2019, membuat usia minimal perkawinan pada perempuan dari yang sebelumnya 16 tahun sekarang menjadi 19 tahun sama dengan laki-laki.
Akan tetapi hukum yang ada sekarang memang masih membuka celah bagi anak dibawah usia 19 tahun yang ingin menikah yaitu dengan cara mengajukan permohonan dispensasi kawin ke pengadilan. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa sepanjang satu semester tahun 2020, yakni dalam rentang waktu setengah tahun saja, ada sebanyak 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan.
Dan dari angka permohonan tersebut, 97 persen di antaranya dikabulkan oleh Hakim. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan periode sebelumnya yaitu tahun 2019. Perkawinan usia anak mempunyai resiko yang sangat tinggi. Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Mulai dari persoalan tumbuh kembang anak, kesehatan reproduksi, kesehatan mental, pendidikan, pergaulan, hingga ekonomi semuanya terganggu. Tetapi ironisnya perkawinan anak tetap saja terus terjadi, bahkan semakin menjadi-jadi di tengah pandemi. (dep/sf)