Ketua Banggar Said Abdullah. Foto: Eno/Man
Kebijakan keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, membolehkan pemerintah untuk melakukan penganggaran dan pembiayaan defisit melampaui 3 persen. Sebab aturan tersebut dirancang untuk situasi pandemi dan akan berlaku selama 3 tahun yang mulai dari tahun anggaran 2020 hingga 2022. Tahun 2023 nanti, defisit akan kembali normal menjadi paling tinggi sebesar 3 persen dengan penyesuaian bertahap.
Terkait hal itu, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan mengundang sejumlah pakar guna membahas optimalisasi penerimaan perpajakan dalam pemulihan ekonomi nasional. Hadir dalam rapat, Ketua Banggar Said Abdullah mempertanyakan langkah ekstra effort seperti apa yang bisa dan harus dilakukan pemerintah untuk mempersiapkan masa transisi Perppu tersebut, khususnya dari sektor penerimaan pajak.
“Pemerintah Indonesia dalam tiga tahun terakhir, sejak Perppu, saya menamakan desain policy yang dilakukan sebagai ‘APBN Transisi’. Perppu dirancang dengan defisit yang boleh diatas 3 persen dengan harapan 2023 memasuki APBN normal. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, kira-kita ekstra effort seperti apalagi yang akan dilakukan pemerintah dari sisi penerimaan khususnya pajak,” tanya Said pada pakar perpajakan yang hadir di ruang rapat Banggar, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (25/3/2021).
Menurut kalkulasi Said, jika pada tahun 2020 defisit mencapai angka 6,3 persen dan pada 2021 diproyeksi mencapai 5,7 persen, maka pemerintah perlu melakukan ekstra effort dari sisi penerimaan negara. Mengingat daya topang APBN TA 2021 dan 2022 diperkirakan akan melakukan pelebaran defisit sebelum pada 2023 kembali menjadi 3 persen sesuai ketentuan UU 17/2003, maka lubang yang harus ditutup dari penerimaan pajak dipastikan cukup tinggi.
“Kalau penerimaan pajak masih biasa-biasa saja, katakanlah 2021 dengan optimisme bahwa pandangan global kita tahun ini bisa tumbuh 4,83 bahkan bisa 5,5, itu artinya pajak kita di tahun 2022 inflasi plus pertumbuhan, maka memasuki 2023 APBN transisi akan mengalami tekanan besar dalam sisi fiskal,” ungkap Politisi PDI-Perjuangan itu.
Hadir dalam rapat dengar pendapat Banggar, Pakar Perpajakan sekaligus Ketua Dewan Pembina P3KPI Anshari Ritonga sempat menyampaikan bahwa aturan pengenaan pajak bagi layanan digital sebagaimana diatur melalui PMK 48 sampai saat ini sasaran pajaknya masih sangat sedikit. Hadir pula Pengamat Pajak DDTC Darussalam yang mengatakan bahwa jika target pajak mencapai Rp1.229 triliun dengan realisasi paling optimisnya berkisar Rp1.030-Rp1.150 maka terjadi shortfall 10 persen.
“Untuk itu bagi kami menggelar rapat dengar pendapat umum ini, sebagai masukan bagi kami dan anggota banggar supaya ketika membahas pada bulan Mei hingga September benar-benar pada tingkat menjaga keberlanjutan fiskal kita, penerimaan pajak yang progresif, tentu dengan pengelolaan berdasarkan dengan ketentuan yang ada,” kata Said kepada pakar perpajakan yang hadir.
Terkait tax amnesty jilid kedua yang sedang marak diberitakan, Pakar Perpajakan Darussalam secara terbuka menolak kembali diberlakukannya pengampunan pajak tersebut. Menurutnya, tax amnesty merupakan disinsentif bagi para wajib pajak (WP) yang patuh membayar pajak. Selain itu, penerapannya juga membutuhkan justifikasi yang kuat karena merupakan kebijakan yang relatif kontroversial sebab menghapus pokok pajak beserta sanksinya.
“Beberapa kali sudah saya sampaikan di media bahwa tax amnesty jangan berkali-kali, karena jadi disinsentif bagi WP yang patuh, posisi saya tidak setuju, tetapi kalau kita ingin ambil langkah ekstra effort ya pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang luar biasa, tetapi tetap meminimalisir kegaduhan,” tegasnya.
Setidaknya, Darussalam menjabarkan adanya empat alasan utama yang dilakukannya pengampunan pajak diantaranya penerimaan jangka pendek, sebagai jembatan ke sistem pajak baru, upaya menciptakan kepatuhan jangka panjang, serta repatriasi modal. Namun saat ini, ia menilai tidak ada satupun dari empat alasan tersebut yang memiliki justifikasi kuat.
“Persoalan pajak kita itu, sebenarnya kita sudah terlanjur membuat suatu kebijakan untuk menina-bobokan pihak-pihak tertentu, saya tidak akan sebut kalangan yang mana, tentu yang sudah menikmati kebijakan pajak seperti itu,” pungkasnya. (alw/es)