Desa harus diberikan otonomi yang jelas dan spesifik. Otonomi desa sudah muncul sejak desa lahir. Selama ini peraturan belum mengatur secara jelas pemberian otonomi, sehingga kepala desa tidak bisa leluasa mengelola pemerintahan dan dana desa. DPR RI Anwar Hafid, anggota Komite II, menyampaikan pandangannya bahwa penting bagi desa untuk memiliki otonomi. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa perlu direvisi.
“Perlu dibuka kemungkinan amandemen undang-undang desa agar pengakuan terhadap hak swadaya masyarakat desa semakin nyata. Saat ini tuntutan masyarakat terhadap pemerintah desa semakin banyak. Ke depan, kita juga harus pertimbangkan untuk meningkatkan penyaluran dana tingkat desa,” kata Hafid. Misalnya, pemerintah tingkat desa perlu diberi keleluasaan untuk mengelola dana tingkat desa.
Selama ada kekosongan hukum, kepala desa dapat melakukan diskresi atas pengelolaan keuangan desa. “Otonomi kepala desa perlu dilindungi dalam penggunaan dana di desa. Jika hal ini tidak dilakukan, tentu kepala desa akan menjadi sasaran publik. Padahal, kebutuhan masyarakat sangat besar, dan juknisnya” untuk penggunaan dana di desa sangat ketat. . Kepala desa memiliki keleluasaan dalam merumuskan kebijakan yang mengatur APBD,” jelas Hafid lagi.
Politisi Demokrat itu menegaskan, presiden kerap mengimbau kepala desa agar tidak takut mengambil kebijakan diskresi. Seruan presiden itu harus ditindaklanjuti dengan membuat payung hukum bagi kepala desa. Kebijakan diskresi merupakan bagian dari otonomi desa. Namun, para legislator di Sulawesi Tengah terus mengatakan bahwa otonomi desa tidak diberikan kepada kabupaten/kota. Otonomi daerah diberikan oleh pemerintah pusat, tetapi otonomi desa merupakan pengakuan.
Seperti diketahui, istilah diskresi ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam Pasal 1 Angka 9 UU itu disebutkan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.