Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (30/3/2021). Foto: Azka/nvl
Komisi X DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah asosiasi psikolog sebagai bagian dari rapat Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Praktik Psikologi. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyatakan rancangan aturan tersebut sudah masuk Prolegnas Prioritas 2021 yang akan dibahas di Komisi X bersama dengan RUU Sistem Pendidikan Nasional dan RUU Sistem Keolahragaan Nasional.
“RUU ini akan nantinya akan dibahas bersama pemerintah yang meliputi Kemendikbud, Kemenkes, Kemensos, dan Kemenkumham. Sebelum mulai pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), kami ingin mendalami berbagai hal termasuk substansi dalam ketentuan umum. Kemudian, pengaturan tata kelola penjaminan mutu, pengaturan yang dibutuhkan baik kelembagaan, kemitraan, dan pembiayaan. Serta kendala dan solusi praktik psikologi di Indonesia,” kata Hetifah di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (30/3/2021).
Hadir dalam rapat tersebut, baik secara fisik maupun secara virtual, sejumlah perwakilan pengurus dari berbagai asosiasi di antaranya Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI), Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI), Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPKI), dan Asosiasi Psikolog Forensik (Apsifor). Berdasarkan kesimpulan rapat, Panja RUU Psikologi Komisi X DPR RI telah mencatat sejumlah aspirasi bahwa ilmu psikologi mengalami perkembangan sehingga menjadi cabang-cabang tertentu.
“Perkembangan praktik psikologi tersebut berimplikasi kepada lahirnya jenis profesi baru. Untuk itu, pengaturan substansi RUU ini harus memperhatikan dinamika perkembangan bidang psikologi termasuk mengakomodir istilah-istilah krusial yang berdampak kepada profesi atau praktik psikologi,” ungkap politisi Partai Golkar itu.
Dalam paparannya, Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI) Weny Savitry S. Pandia menyatakan RUU Praktik Psikologi dibutuhkan sebab masyarakat masih mengalami kesulitan untuk menjangkau psikolog. Selain itu diperlukan aturan khusus yang betul-betul bisa mengatur praktik psikologi yang mampu memberi aturan jelas terkait psikolog, psikolog dengan keahlian khsusus, praktisi psikolog, hingga asisten psikolog.
Seperti dalam bidang pendidikan, menurut Weny, ada beberapa kasus yang tidak harus ditangani langsung oleh psikolog tetapi bisa ditangani praktisi psikologi. “Tetapi ini perlu kerja sama antara psikolog dan guru. Praktisi psikolog bisa berperan untuk identifikasi awal, kemudian megobservasi dan bisa intervensi. Barulah kemudian mwlakukan pathogram untuk asesmen, menempatkan guru pada posisi pengembangan program di sekolah sehingga tujuan pendidikan bisa tercapai,” imbuhnya.
Pihak APPI menyatakan sangat setuju dengan RUU Praktik Psikologi yang nantinya mengatur psikolog maupun non-psikolog, yang terdiri dari asisten psikolog maupun praktisi psikologi pendidikan. Untuk saat ini, Psikolog Sekolah sudah memiliki standar kompetensi tertentu. Namun, Praktisi Psikolog Pendidikan termasuk asisten psikolog dan psikolog di sekolah sedang dirancang standar kompetensinya. Menurut Weny, standar layanan bisa masuk standar kompetensi.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI) Indun L. Setyono. Menurutnya, aturan terkait asisten psikologi sangat dibutuhkan. Terutama dalam hal pemeriksaan dan pengambilan data yang membutuhkan keahlian khusus. “Saat mengambil Strata 1, mereka sudah mendapat pelajaran kurikulumnya bagaimana mengambil data yang benar dan valid,” jelasnya.
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Reni Kusumowardhani juga mendesak segera dibahas dan disahkannya RUU Praktik Psikologi. “Memang betul sudah ada UU Tenaga Kesehatan, tetapi itu hanya mengatur psikolog klinis. Sementara bidang layanan psikologi itu ada tentang pendidikan, tentang sekolah, dan masih banyak lainnya, kami tidak diatur dalam undang-undang manapun. Makanya RUU ini menjadi perlu,” tegasnya.
Pihaknya meyakinkan anggota dewan bahwa kehadiran RUU Praktik Psikologi tidak akan tumpang tindih dengan aturan yang ada, melainkan bersifat komplementer. Meski harmonisasi menjadi satu kata kunci, namun adanya RUU tersebut bisa menjadi payung hukum yang akan bersinergi dengan aturan lainnya seperti UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan dan juga UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa.
“Intinya kami mendukung RUU yang mengatur segenap tenaga psikologi. Kami melihat bahwa RUU yang sedang dibahas sebaiknya membahas tentang tenaga psikologi yakni psikolog, asisten psikolog, praktisi psikolog dan psikolog dengan keahlian khusus, keempatnya benar-benar dibutuhkan di masyarakat. Terkait ilmuwan psikologi, kita perlu membedakan bahwa yang diatur dalam RUU adalah yang melakukan praktik psikologi, sehingga ilmuwan tidak masuk di dalamnya,” tutup Reni. (alw/sf)